Bahwasannya Indonesia merdeka adalah keharusan sejarah; sebuah ikhtiar untuk mengakhiri drama kolonialisme yang picik.

Sejak 61 tahun silam, Indonesia memang terus bersolek; membuktikan pada dunia bahwa Indonesia mampu menjadi bangsa yang besar. Tetapi, di tengah persolekannya itu, tangisan anak negeri mulai sayup-sayup terdengar.

Meskipun Indonesia tidak lagi menjadi “niemand nagenoeg iets bezit” -negeri di mana tak satupun orang berkecukupan makan-, tapi tengoklah; nestapa ibu pertiwi tak kunjung usai.

Nasionalisme kita juga kian redup, dibajak oleh kehendak dan kepentingan global. Paceklik massal nyaris terjadi di setiap sudut kehidupan.

Sewindu reformasi tentu saja terlalu lama untuk masa transisi. Manifesto perubahan yang dihempaskan dalam gerakan reformasi masih jauh dari harapan.

Patologi sosial bernama korupsi menggerogoti sendi-sendi kehidupan bangsa. Nafas demokrasi masih tersendat-sendat. Pesimisme dan optimisme berjalan merayap di tebing ketidakpastian.

Demikianlah bahwa hidup berdasarkan perikemanusiaan dan persaudaraan mengajarkan kepada kita untuk saling terbuka, kerjasama dan begotong royong.

Etos kebersamaan ini akan memperkokoh semangat kebangsaan; sesuatu yang jauh lebih penting dari pada sikap saling menghujat dan menyalahkan satu sama lain.Mari bersama membangun negeri dengan rasa saling percaya, sebab kepercayaan adalah social capital terpenting dalam kehidupan berbangsa!.